Rabu, 14 Maret 2012

identifikasi senyawa amina dengan spektrofotometri gas


BAB I
PENDAHULUAN

Senyawa organik amina banyak digunakan dalam jumlah besar oleh industri sebagai senyawa antara dalam pembuatan zat warna, pestisida, platik, kosmetik dan obat-obatan. Selain itu pemakaian senyawa amina aromatik ini juga dipakai sebagai antiokasidan dan antiozonan dalam industri karet. Pemakaian dalam jumlah besar ini sudah barang tentu dampak akhirnya mencemari lingkungan kita terutama perairan. Senyawa aromatik amina umumnya sangat polar sehingga mUdah larut dalam air. Jadi sudah barang tentu pencemarannya akan tersebar luas.
Senyawa aromatik amina sifatnya sangat beracun, mutagenik dan sangat karsinogen. Oleh sebab itu penelitian analisis senyawa amina aromatik ini sangat penting apalagi apabila matrik di dalamnya sangat komplek. Sangat kompleks artinya selain senyawa aromatik amina ada senyawa-senyawa lain yang mirip sifatnya misalnya di dalam hasil degradasinya oleh mikroba.
Karena sifat senyawa aromatik amina yang polar ini, analisis senyawa amina aromatik banyak dilakukan dengan kromatografi cairan kinerja tinggi (KCKT) dan dapat juga dianalisis dengan metoda elektroforesa kapiler (EK) dengan detektor ultra violet.
Analisis  dengan kromatografi gas GC) atau kromatografi gas spektrometri massa (GC-MS) melalui selected ion monitoring (SIM) membutuhkan derivatisasi dalam preparasi contohnya. Analisis senyawa amina umumnya dilakukan setelah diderivatisasi lewat proses asilasi, sisilasi, dinitrofenilasi, permetilasi, pembentukan basa Shiff, pembentukan senyawa karbamat, pembentukan senyawa sulfonamida dan pembentukan senyawa fosfonamida. Tetapi proses-proses derivatisasi tersebut di atas mempunyai keterbasan harus dilakukan dalam suasana bebas air (anhidrous). Sedangkan derivatisasi dengan iodine (I2) atau iodinisasi mempunyai kelebihan bahwa proses derivatisasi tidak perlu harus dilakukan dalam media bebas air.
Skema reaksi derivatisasi (iodisasi) tersebut di atas berlangsung sebagai berikut :

 

Senyawa amina aromatik dan turunannya direaksikan dengan garam nitrit dalam suasana asam membentuk senyawa azonium. Kemudian senyawa azonium akan membentuk derivat iodida setelah direaksikan dengan iodin dalam keadaan basa. Hal ini dikarenakan, pengubahan suatu arilamina menjadi garam diazonium yang disusul reaksi substitusi, sangatlah berguna dalam sintesa organik.
Percobaan ini bertujuan mengaplikasikan metoda analisis senyawa amina aromatik melalui derivatisasi dengan iodin (iodisasi) dengan GC-MS dalam media yang mengandung hasil degradasi zat warna orange II oleh jamur Penicillium sp. L2K. Dari hasil percobaan diharapkan diperoleh metoda yang dapat dipakai untuk memonitor proses degradasi atau dekolorisasi zat warna orange II dalam air limbah khususnya air limbah pabrik tekstil.



BAB II
PEMBAHASAN

Kromatografi Gas adalah proses pemisahan campuran menjadi komponen-komponennya dengan menggunakan gas sebagai fase bergerak yang melewati suatu lapisan serapan (sorben) yang diam.
Dalam kromatografi gas, fase geraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya. Sedangkan dalam kromatografi padat – gas, digunakan suatu zat padat penyerap.
Sehingga prinsip dari kromatografi gas ini adalah terjadinya pemisahan didasarkan pada interaksi komponen dengan fasa diam dan bergantung dari perbedaan titik didih komponen-komponen yang akan dipisahkan. Dan kecepatan suatu senyawa tertentu bergerak melalui mesin tergantung pada seberapa lama waktu yang dihabiskan untuk bergerak dengan gas dan sebaliknya melekat pada cairan dengan jalan yang sama.
Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beragam, mulai dari beberapa detik untuk campuran sederhana sampai berjam-jam untuk campuran yang mengandung 500-1000 komponen. Komponen campuran dapat diidentifikasikan dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Dimana waktu retensi (tR) adalah suatu besaran yang menyatakan waktu molekul zat terlarut tinggal dalam fasa gerak dalam kromatografi. Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisis karena retensi bersifat karakteristik pada tiap senyawa. Identifikasi puncak dapat diperoleh dengan menggunakan inframerah atau spektrometri masa.
Oleh karena itu kromatografi gas (GC) dan kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa amina aromatis lewat iodinisasi menggunakan kromatografi gas dan kromatografi gas-spektrometer massa.
Untuk mengidentifikasi senyawa amina ini dapat juga digunakan cara dengan kromatografi cairan kinerja tinggi (KCKT) secara langsung dan metoda EK yang dilengkapi dengan detektor ultra violet. Hal ini dikarenakan senyawa amina yang bersifat polar. Namun kelemahan dari KCKT ini ialah terbatasnya jumlah puncak yang dapat dideteksi di dalam satu kali analisis. Juga apabila dalam analisis dengan KCKT ini digunakan detektor ultra violet yang diketahui sangat universal hasil pengukuran menjadi kurang sensitif apalagi kalau dipilih λ = 230 nm yang kemungkinan banyak pengaruh-pengaruh senyawa lainnya. Dan analisis dengan metoda EK yang dilengkapi dengan detektor ultra violet ini mempunyai kelemahan yaitu kurang sensitif seperti halnya analisis dengan metoda KCKT. Selain itu metode  KCKT dan EK membutuhkan waktu panjang pada perlakuan pendahuluan (clean up) dalam prepasi contoh sebelum dilakukan analisis.
Maka dari itu lebih dipilih identifikasi senyawa dengan GC dan GC-MS. Karena analisis  dengan kromatografi gas (GC) dan kromatografi gas spektrometri massa (GC-MS) melalui selected ion monitoring (SIM) umumnya mempunyai kelebihan lebih sensitif dan dalam satu kali injeksi dapat memuat lebih banyak puncak senyawa.
Dalam percobaan ini contoh yang akan dianalisis adalah hasil degradasi zat warna orange II oleh jamur Penicillium sp. L2K. Karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk memonitor proses degradasi atau dekolorisasi zat warna orange II dalam air limbah khususnya air limbah pabrik tekstil. Maka larutan yang dijadikan sampel (larutan contoh)  ada 2 jenis larutan yaitu hasil degradasi zat warna orange II oleh jamur Penicillium sp. L2K dan senyawa-senyawa murni amina aromatis seperti naftilamina, glisina, heksametilentetramin dan 1-naftol.
Dengan larutan hasil degradasi zat warna orange II yang diderivatisasi diidentifikasi dengan GC-MS. Sedangkan larutan hasil derivatisasi senyawa amina aromatis diidentifikasi dengan GC. Dimana untuk memonitor proses tersebut dibandingkan dengan  hasil dari identifikasi melalui GC. Dengan cara membandingkan puncak pada kromatogram hasil GC dengan kromatogram hasil GC-MS.

Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Kromatografi gas (HP 6890) yang dilengkapi dengan kolom kapiler HP-5 (Crosslinked 5% PhMe Siloxane) dengan L = 30 m, L.D = 0,32 mm dan ketebalan film 0,25 μm. Selain itu dilengkapi dengan detektor ionisasi nyala. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis kromatografi gas spektroskopi massa adalah (Finnigan GCQ Trace 2000) yang dilengkapi dengan kolom HP 5 (Crosslinked 5% PhMe Siloxane) dengan L= 30, L,D= 0,32 dan ketebalan film 0,25 μm.
Kolom yang digunakan adalah kolom kapiler HP-5 merupakan kolom yang fasa diamnya terdiri dari 5% fenil & 95% dimetil-polisiloksan yang bersifat non polar. Sedangkan senyawa yang akan diidentifikasi (amina aromatis) bersifat polar. Oleh karena itu kolom ini juga berfungsi untuk memisahkan senyawa yang polar dengan senyawa non polar. Senyawa non polar akan tertahan dengan fasa diamnya, sedangkan senyawa polar akan ikut terbawa oleh fasa geraknya. Dimana kolom adalah tempat terjadi pemisahan komponen-komponen cuplikan. Dan kolom kapiler merupakan tabung yang panjang dan tipis dari kaca atau bahan lainnya seperti baja tahan karat. Namun, hanya dapat menangani sampel-sampel yang sangat kecil. Isi dari kolom adalah padatan penunjang pada fasa diam yang berfungsi mengikat fasa diam.
Detektor yang baik digunakan adalah detektor yang memiliki syarat berikut :
1.    Mempunyai kepekaan yang tinggi.
2.    Tingkat derau (noise) yang rendah
3.    Peka terhadap segala jenis senyawa
4.    Kokoh dan tidak mahal
5.    Tidak peka terhadap perubahan suhu
6.    dan perubahan laju  dari gas pembawa
Fungsi detektor adalah untuk memonitor gas pembawa yang keluar dari kolom dan merespon perubahan komposisi solul yang terelusi. Pada identifikasi ini digunakan detektor FID (Flame Ionization Detector) yaitu detektor yang selektif untuk semua senyawa organik rantai lurus. Namun sebenarnya terdapat detektor yang khusus untuk mengidentifikasi senyawa yang mengandung nitrogen, posfor dan sulfur yaitu Nitrogen-Phosphor Detector (NPD). Namun tidak digunakan detektor ini karena setelah derivatisasi senyawa yang teridentifikasi bukan saja amina aromatis tetapi senyawa turunannya yaitu iodobenzen yang tersubstitusi. Dengan bentuk alat sebagai berikut :

Derivatisasi
          Derivatisasi dilakukan terhadap senyawa-senyawa murni seperti naftilamina, glisina, heksametilentetramin, 1-naftol, dan contoh.
Derivatisasi dilakukan sebagai berikut :
1.    Lima ml contoh atau larutan senyawa murni (0,1 mg/ml) dan 5 ml air dicampur kemudian ke dalamnya ditambahkan 0,2 ml asam hidroiodida.
2.    Ke dalam larutan tersebut diatas kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan sodium nitrit (10 gram/I) dan di kocok.
3.    Setelah reaksi tersebut diatas berlangsung 20 menit, tambahkan 1 ml larutan asam amidosulfonat (50 gr/I) untuk memecahkan kelebihan senyawa nitrit, kocok selama 45 menit.
4.    Larutan dipanaskan selama 5 menit diatas penangas air pada temperatur 100o C, kemudian didinginkan pada temperatur kamar.
5.    Pecahkan kelebihan iodin dengan larutan sodium sulfit jenuh sebanyak 0,25ml.
6.    Larutan dibuat basa dengan larutan sodium hidroksida (10 mol/I) sebanyak 0,5 ml.
7.    Ekstraksida derivat dengan pentan senbanyak 2 ml selama 15 menit.
Preparasi contoh
            Larutan hasil degradasi zat warna orange II dengan jamur penicillium sp, L2K dipipet sebanyak 10 ml, kemudian disaring dengan kertas Whatman no.1, kemudian disaring lagi dengan kertas  saring Millipore 0,2 μm. Hasil penyaringan kemudian diderivatisasi seperti prosedur derivatisasi tersebut diatas.

Perlakuan terhadap GC dan GC-MS adalah :
Kromatografi gas diatur dengan suhu injektor 2500C dan suhu detektor ionisasi nyala 2800C. Suhu kolom mula-mula diatur 40oC (selama 10 menit), dinaikkan  10oC/menit sampai 2800C dan pada suhu 2800C ditahan selama 20 menit. Disini temperatur kolom dapat bervariasi antara 50 oC sampai 250 oC. Temperatur kolom lebih rendah daripada gerbang injeksi pada oven, sehingga beberapa komponen campuran dapat berkondensasi pada awal kolom.
Dalam beberapa kasus, kolom dimulai pada temperatur rendah dan kemudian terus menerus menjadi lebih panas dibawah pengawasan komputer saat analisis berlangsung. Dimana pada percobaan ini suhu awal kolom 40oC kemudian perlahan dinaikkan  10oC/menit sampai 2800C dan pada suhu 2800C ditahan selama 20 menit. Hal ini dikarenakan waktu retensi bergantung pada titik didih senyawa dan kelarutan zat dalam fasa cair. Semakin tinggi titik didihnya semakin lama waktu tR. Semakin rendah suhu kolom semakin baik pemisahan yang didapat. Namun membutuhkan waktu yang lama sehingga kurang efektif. Bila menggunakan suhu tinggi senyawa yang melewati kolom lebih cepat. Namun pemisahannya kurang baik, maka dari itu dilakukan kenaikan suhu secara perlahan.
            Analisis dengan GC-MS dilakukan dengan suhu injektor dan suhu kolom sama seperti dilakukan dengan alat GC, Sedangkan kondisi spektometri massa dengan metode EI (Electron Impact) diatur dengan suhu 200oC, suhu transfer line 275oC , vakum 30-50 Torr, energi elektron 70 ev dan arus emisi 250 ampere.
Penggunaan spektrometer massa dapat juga digunakan untuk meningkatkan selektivitas pendeteksian dan kuantifikasi termasuk informasi kuantitatif yang bermanfaat untuk konfirmasi hasil.
Semua perlakuan kolom pada GC dan GC-MS dibuat sama agar dapat dibandingkan hasil dari derivatisasi yang diidentifikasi pada GC dengan yang diidentifikasi dengan GC-MS. Apakah ada senyawa amina aromatis pada hasil degradasi zat warna orange II dengan jamur penicillium sp, L2K.

Diagram alir kromatografi gas


HASIL DAN DISKUSI
Percobaan Derivatisasi Terhadap Beberapa Senyawa Amina
          Untuk membuktikan bahwa prosedur iodinisasi dapat berjalan maka sejumlah senyawa yang mengandung gugus amina (1-nalfilamina, heksametiltetramin, glisin, asam sulfanilat) dan satu senyawa yang mengandung gugus hidroksi (1-naftol) diderivatisasi dengan iodin kemudian diperiksa dengan kromatografi gas, hasilnya terlihat (Tabel 1) semua senyawa amina dapat terderivatisasi, bahkan juga 1-naftol. Sedangkan senyawa amina yang sangat polar (mengandung gugus asam) seperti asam sulfanilat tak dapat terlihat dalam kromatogram. Hal ini disebabkan karena derivatnya yang bersifat polar tak dapat terekstaksi dengan pentan yang mana pentan bersifat lebih ke non polar.

 
          Sebelum derivatisasi dilakukan terhadap contoh, berapa banyak amina aromatik yang terderivatisasi oleh iodin diperiksa terlebih dahulu dengan meiodinisasi naftilamina p.a. Hasil menunjukkan naftilamina terderivatisasi sebanyak 100% bila dilakukan di dalam media, naftilamina akan terderivatisasi sebanyak 77,4% (5).

Identifikasi Hasil Derivatisasi Terhadap Larutan Naftilamina
Naftilamina dalam percobaan ini dipakai sebagai zat yang dapat mewakili atau mirip dengan senyawa-senyawa amina aromatik yang mungkin ada dalam larutan hasil degradasi zat warna orange II dengan jamur Penicillium sp. L2K.
Perkiraan senyawa antara yang terbentuk dalam proses penguraian orange II oleh enzim azo reduktase adalah melalui skema yang diberikan dalam gambar 2.


Sedangkan perkiraan senyawa antara yang terbentuk dalam proses penguraian orange II oleh enzim azo peroksidase adalah melalui skema sebagai berikut :
Dengan menggunakan kromatografi gas, hasil analisis naftalen iodida (hasil derivatisasi naftilamina dengan iodin atau iodinisasi) ditunjukkan dengan kromatogram seperti dalam gambar 3. Pada gambar 3 terliaht naften iodida yang terbentuk mempunyai waktu retensi yang berkisar pada 25 menit.
Sedangkan hasil identifikasi adanya naftalen iodida dengan kromatografi spektrometer massa dengan memonitor ion terpilih pada m/z = 77,127 dan 254, kromatogram ion selektif terlihat seperti pada gambar 4. Ion m/z = 77 dipilih untuk memonitor adanya adanya gugus aromatik, ion m/z = 127 dipilih untuk melihat adanya ion iodin dan m/z = 254 dipilih untuk melihat adanya naftalen iodida.



Hasil identifikasi hasil derivatisasi terhadap larutan contoh
Identifikasi adanya aromatik amina dilakukan terhadap larutan contoh yang diambil dari hasil degradasi zat warna orange II oleh jamur Penicillium sp. L2K yang diinkubasi selama 24, 48, 72, 120, 144 dan 168 jam. Analisis untuk masing-masing larutan contoh dilakukan sebanyak 2 kali (derivatisasi maupun diinjeksikan ke alat kromatografi gas dan kromatografi gas-spektrometer massa dilakukan sebanyak 2 kali).
Hasil identifikasi menunjukkan larutan hasil degradasi zat warna orange II dengan jamur Penicillium sp. L2K pada masa inkubasi 72 jam mempunyaiderivat naftilamina. Hal ini dapat diperlihatkan dengan kromatogram dari analisis dengan kromatografi gas pada gambar 5 yang menunjukkan puncak adanya naftiliiodida pada waktu retensi = 24,57 dan adanya puncak pada m/z = 77,127 dan 254 pada kromatografi ion selektif (gambar 6) hasil analisis dengan kromatografi spektrofotometri massa.
Identifikasi selanjutnya terhadap adanya senyawa aromatik amina alainnya pada setiap puncakpada kromatogram total ion dilakukan dengan memonitor ion selektif dengan m/z = 77 yang mewakili adanya gugus aromatik dan m/z = 127 yang mewakili adanya derivat iodida. Ternyata dari semua puncak pada kromatogram total ion dari setiap contoh yang diperiksa tidak satupun mengandung senyawa aromatik dari derivat iodida kecuali derivat naftilamina pada contoh hasil degradasi zat warna zat warna orange II dengan massa inkubasi selama 72 jam.
Sedangkan contoh yang diambil dari hasil inkubasi selain waktu inkubasi 72 jam (24,48,92,120,144,168 jam) tidak menunjukkan adanya derivat naftilamina maupun derivat senyawa aromatis lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya puncak denagn waktu retensi yang sama dengan derivat naftilamina dalam analisis dengan kromatogtafi gas juga tidak adanya puncak dengan ion selektif m/gas 77 maupun 127 pada hasil analisis dengan GS-MS.
BAB III
KESIMPULAN

Metode analisis ini dapat digunakan untuk analisis amina aromatik maupun alifatik primer tetapi tak dapat digunakan untuk senyawa amina yang polar (mengandung gugus asam).
Hasil identifikasi terhadap larutan-larutan hasil degradasi zat warna Orange II oleh jamur penicillium sp L2K dengan kromatografi gas spektrometri massa lewat ion terpilih setelah melalui iodinisasi tidak terlihat adanya amina aromatik yang lain selain naftilamina.




Selasa, 16 Agustus 2011

Struktur terpenoid dan steroid


Struktur terpenoid dan steroid

1.       Struktur terpenoid

Terpen-terpen adalah suatu golongan senyawa yang sebagian besar terjadi dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Hanya sedikit sekali terpen-terpen yang diperoleh dari sumber-sumber lain. Monoterpen-monoterpen dan seskuiterpen adalah komponen utama dari minyak menguap atau minyak atsiri. Minyak menguap ini diperoleh dari daun atau jaringan-jaringan tertentu dari tumbuh-tumbuhan atau pohon-pohonan. Minyak atsiri adalah bahan yang mudah menguap, sehingga ia mudah dipisahkan dari bahan-bahan lain yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan. Salah satu cara yang paling popular untuk memisahkan minyak atsiri dari jaringan tumbuh-tumbuhan ialah penyulingan. Senyawa-senyawa di dan triterpen tidak dapat diperoleh dengan jalan destilasi uap, tapi diperoleh dari tumbuh-tumbuhan dan tanaman karet atau resin dengan jalan isolasi serta metoda pemisahan tertentu.

Perbandingan banyaknya atom karbon dan atom hydrogen dalam terpen adalah 5 : 8. Terpen tersusun dari senyawa – senyawa yang mengandung gabungan kepala ke ekor dari satuan kerangka isoprene (kepala adalah ujung yang terdekat ke cabang metil). Untuk menekankan hubungan dengan isoprene ini maka terpen juga disebut isoprenoid.terpan mengandung 2,3 atau lebih satuan isoprene.
Secara umum terpenoid terdiri dari unsur-unsur C dan H dengan rumus molekul umum (C5H8)n.
Klasifikasi biasanya tergantung pada nilai n.

Nama
Rumus
Sumber
Monoterpen
C10H16
Minyak Atsiri
Seskuiterpen
C15H24
Minyak Atsiri
Diterpen
C20H32
Resin Pinus
Triterpen
C30H48
Saponin, Damar
Tetraterpen
C40H64
Pigmen, Karoten
Politerpen
(C5H8)n  n  8
Karet Alam



Beberapa contoh terpenoid :





a.Monoterpen :









b. Seskuiterpen :








c. Politerpen :
 


 d. Terpenoid Tak Teratur :



2.      Steroid
Steroid merupakan senyawa yang memiliki kerangka dasar triterpena asiklik. Ciri umum steroid ialah sistem empat cincin yang tergabung. Cincin A, B dan C beranggotakan enam atom karbon, dan cincin D beranggotakan lima. Perhatikan Gambar 14.51 pada halaman berikut.
gambar 14.51
Gambar 14.51. Struktur Steroid dan Penomorannya

Steroid terdapat dalam hampir semua tipe system kehidupan. Dalam binatang banyak steroid bertindak sebagai hormone. Steroid digunakan secara meluas sebagai bahan obat. Kolestrol merupakan steroid yang terbanyak di dalam tubuh manusia. Kolestrol memiliki struktur dasar inti steroid yang mengandung gugus metil, gugus hidroksi yang terikat pada cincin pertama, dan rantai alkil.
Struktur kolestrol dapat dilihat pada Gambar 14.52.
gambar 14.52
Gambar 14.52. Struktur molekul kolestrol
Garam empedu merupakan hasil sintesa kolestrol dan disimpan dalam bladder, peran senyawa ini adalah untuk mengemulsikan asam lemak dan minyak sehingga memperluas permukaan lipida yang akan dibongkar secara enzimatik. Struktur molekul garam empedu dapat dilihat pada gambar
gambar 14.53